Selasa, 18 November 2008

Kampungan= Cultural Lag

TEKNOLOGI DAN PENGETAHUAN
Kasus I
“tolking-tolking, you know david Beckham?”
Kalimat di atas di ucapkan oleh seorang pemuda kepada seseorang di luar negeri yang dia sendiri tidak tahu dalam sebuah iklan televisi. Dalam cerita tersebut di ceritakan bahwa salah satu provider penyedia layanan telepon selular menyediakan layanan menelpon ke luar negeri dengan biaya murah. Hal itulah yang di manfaatkan si pemuda tadi untuk ngobrol sembarangan dengan orang entah berantah di luar negeri. Bersama dengan dua temannya, dia menertawakan kejadian yang baru saja mereka alami. Meskipun hanya iklan, saya yakin hal ini pasti pernah kejadian di dunia nyata.
Kasus II
Waktu itu saya lagi liburan di kampong. Suatu hari datang 2 orang pemuda setempat sambil menenteng sebuah ponsel keluaran terbaru di tangan. Ponsel tersebut sudah dilengkapi dengan fasilitas 3G dan harganya tak kurang dari 2,5 juta. Kedua pemuda tadi menanyakan cara mengaktifkan alarm di ponsel tersebut. Sontak saya kaget, “What?!?!?!, alarm aja lu ga tau?” guman saya dalam hati. Bagi saya hal tiu terasa aneh, ngapain coba dia beli ponsel keren begitu kalau tidak bisa di gunakan. Selanjutnya muncul di pikiran saya untuk menanyakan alas an membeli ponsel yang harganya tidak murah untuk ukuran kampung saya meskipun kondisi ekonomi di sana tidak terlalu buruk seperti di daerah lain.
Ketika saya tanya alasan mengapa beli ponsel yang ber”3G”, jawabannya tak kalah mengagetkannya. Dia malah balik menanyakan kepada saya apa itu 3G. setelah saya jelaskan 3G singkat dan jelas, akhirnya dia mengemukakan alasannya mengapa membeli ponsel mahal itu. Alasannya sederhana sekali sekaligus (lagi-lagi) mengagetkan. Dia menjawab: “ponsel seperti inikan kameranya ada 2, nah, saya bisa memotret diri saya sambil melihatnya di layar”. Dalam hati saya kembali berguman “What!!!!, hanya karena itu kamu bela-belain beli ponsel mahal?”.
Kasus III
Masih di kampung. Bapak saya menceritakan bahwa ada temannya, seorang petani, curhat kepadanya. Teman bapak saya tadi menanyakan kepada bapak saya berapa sih harga ponsel saat ini?. Bapak saya menjawab sambil mengeluarkan ponsel yang dia miliki (sebuah ponsel sederhana dengan harga +300 ribu). Teman bapak saya tadi lansung kaget. Anaknya minta di belikan sebuah ponsel yang kata anaknya harganya 3 juta lebih! Anaknya sudah putus sekolah sejak SD dengan alasan ekonomi meskipun secara kasat mata si bapak ini tidak kekurangan dengan hasil pertanian yang melimpah. Demi memenuhi permintaan anaknya, si bapak rela menjual sebagian tanahnya ntuk membeli ponsel.
Bagi seorang petani, tanah adalah harta paling berharga. Dan si bapak tadi rela menjual hartanya yang paling berharga demi sebuah benda kecil yang notabene bukan merupakan kebutuhan primer bagi dirinya maupun anaknya. Yang semakin menambah ironis kejadian ini adalah kenyataan bahwa di kampung tersebut belum di jangkau sinyal GSM apalagi CDMA lebih-lebih layanan 3G. hanya di beberapa tempat dapat ditemui sinyal yang kadang muncul kadang lenyap. Kadang orang-orang setempat harus memanjat pohon untuk mendapatkan sinyal dan melakukan panggilan dengan ponselnya.
Dengan pendidikan setingkat SD, saya bisa membayangkan kejadian seperti kasus II akan terulang. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresinya ketika membuka layanan web browser di ponselnya atau mengoperasikan fitur mp3 dan fitur-fitur lain mengingat ponsel seharga 3 jutaan sudah pasti sangat lengkap fiturnya. Belum lagi jika ingin mencetak foto dari ponsel tersebut mereka harus menempuh perjalanan sejauh 30 km ke ibukota kabupaten dengan fasilitas angkutan umum di kampung tersebut tidak tersedia setiap hari.
Dari ketiga kasus di atas kita bisa melihat adanya sebuah ironi yang terjadi di masyarakat kita. Di saman globalisasi sperti ini yang mana berbagai macam teknologi di ciptakan untuk mendukung aktivitas manusia semakin banyak dan semakin beragam. Untuk memperoleh barang-barang tersebut juga semakin mudah. Dan dalam mengoperasikan alat-alat berteknologi canggih tersebut kita di tuntut untuk memiliki pengetahuan yang “up to date”. Akan tetapi yang terjadi di masyarakat belum semuanya mampu untuk mengoperasikan akan tetapi oleh tuntutan untuk terlihat “gaul” meruntuhkan semua tembok yang menghalanginya untuk mendapatkannya. Dan saya yakin kejadian seperti ini hanya terjadi di kampung saya akan tetapi di daerah lain juga terjadi hal-hal seperti ini meskipun dalam bentuk lain.
Menurut William Ogburn dalam teori cultural lag: Masyarakat merupakan sebuah system yangterdiri dari bagian bagian yang senantiasa mengalami perubahan. Akan tetapi setiap perubahan tidak selalu bersifat serentak meliputi seluruh bagian. Keterlambatan satu bagian harus di ikuti bagian lain. Ketidak mampuan untuk melakuan penyesuaian menyebabkan terjadinya cultural lag atau ketertinggalan budaya. Menurut teori ini, ketiga kasus di atas sudah termasuk masalah social. Meskipun kejadain ini dalah kejadian yang sepele, akan tetapi di butuhkan solusi untuk memecahkannnya.
Untuk mencari sumber permasalahan ketiga kasus tersebut tidaklah susah. Ketiga kasus tersebut disebabkan karena teknologi dan teknologi selalu berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan pengethuan selalu bersumber dari pendidikan. Untuk kasus kedua dan ketiga yang terjadi di kapung saya, penyebab kurangnya pengetahuan masyarakat di karenakan kurangnya motivasi untuk belajar yang dikarenakan kurangnya fasilitas. Mereka menganggap bekerja lebih menjanjikan daripada sekolah. Dan memang hal itu terbukti dengan mampunya mereka membeli ponsel mahal.
Memang kita tidak boleh selalu menyalahkan keadaan, akan tetapi kita di tuntut untuk memberikan solusi. Semua eleman yang berkepentingan di tuntut untuk turut berpartisipasi dalam memecahkan kasus ini. Kita tidak boleh hanya bergantung dari program pemerintah yang entah kenapa selalu datang terlambat.