Rabu, 26 Oktober 2011

Menimbang Kembali Konsep Musyawarah dan Mufakat di Republik Indonesia (Versi Nyeleneh Tentunya))

Tidak ada yang meragukan totalitas para Founding Father negara kita tercinta ini dalam merancang terbentuknya sebuah negara yang makmur, sejahtera, adil, dan sentosa. Mulai dari pancasila, UUD 45, dan lain sebagainya. Termasuk di antaranya konsep musyawarah dan mufakat ini.
Para founding father ini pasti berpendapat bahwa keputusan yang dibuat oleh satu kepala saja tidak lebih baik daripada keputusan yang dibuat oleh jumlah kepala yang lebih ramai. Dari situlah kemudian dasar konsep musyawarah dan mufakat berawal. Dimana keputusan dibuat secara kolektif untuk di-mufakat-kan.
Akan tetapi, sepertinya konsep musyawarah dan mufakat tersebut telah di selwengkan oleh anak cucu para pendiri bangsa tersebut. Mulai dari ha-hal kecil sampai yang serius, dari olah-raga sampai seni, dan lain sebagainya. Dalam tulisan kali ini, saya hanya menyinggung sedikit mengenai olah raga (sepakbola) dan seni (musik) saja.
Salah satu contoh penyelewengan konsep musyawarah dan mufakat dapat kita temui di kehidupan persepakbolaan tanah air. Kita ketahui bersama bahwa gaya sepak bola suatu bangsa di pengaruhi oleh budaya bangsa itu sendiri.
Misalnya, Spanyol yang dikenal sebagai negeri matador. Matador filosofinya adalalah mempermainkan lawannya (banteng) dengan gerakan yang cantik kemudian pada kesempatan yang pas, si banteng tersebut akan di bunuh. Nah, coba lihat permainan timnas Spanyol, Barca, atau Madrid, sesuai kan dengan budaya bangsanya.
Kemudian Italia, yang dikenal sebagai negara para pemain drama atau senima kawakan. Para pemain drama biasanya sangat senang mempermainkan perasaan penontonnya. Coba lihat permainan klub-klub Italia, sering sekali bola sudah masuk kotak pinalti tapi di-oper lagi ke bek. Atau misalnya aksi para pemain kalau dilanggar atau mendapat kartu kuning yang di-lebay-kan.
Terus Inggris, yang mengklaim diri sebagai negara industri awal. Jamak diketahui bahwa nafas utama dari industri adalah sistem yang kuat dengan pergerakan yang cepat. Begitu jugalah yang terjadi dengan timnas Inggris dengan gaya kick and rush-nya.
Atau Brazil yang dikenal sebagai bangsa yang doyan nari. Coba liha permainan Robinho, Kaka, Ronaldo, Ronaldinho, Pele, etc.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan Indonesia?. Sebenarnya, pemain-pemain bola di Indonesia tidak kalah dengan negara lain dalam memegang teguh budaya bangsanya. Para pemain di Indonesia dengan semangat luar biasa menerapkan konsep musyawarah dan mufakat tersebut di dunia sepakbolanya (secara mentah-mentah). Mau bukti?
Konsep musyawarah dan mufakat, dimana banyak kepala lebih baik dari satu kepala, di telan mentah-mentah oleh khalayak sepakbola Indonesia. Ketika dalam sebuah pertandingan sebelas orang tidak mampu memenangkan pertandingan, maka dengan filosofi musyawarah dan mufakat, para penonton juga ikut turun ke gelanggang memainkan perannya masing-masing. Misalnya, melempar wasit, meneror pemain lawan, atau membakar stadion. Saya yakin, sebagaimana keyakinan para suporter goblok itu, hasil pertandingan akan lain.
Nah, itu di dunia sepak bola. Terus bagaimana di dunia musik? Dunia musik tanah air menurut pengamatan saya menjadi korban dari penyelewengan konsep musyawarah dan mufakat ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa masuk ke dalam industri musik bukanlah perkara gampang. Tidak semua orang bisa masuk kedalamnya dan menikmati glamournya dunia tersebut.
Disinilah kemudian konsep musyawarah dan mufakat itu kembali diterapkan mentah-mentah oleh sebagian anak muda di tanah air. Lebih jelasnya begini, ketika satu orang sangat sulit masuk ke industri musik, kenapa kita tidak coba masuk sekalian beramai-ramai? Bukankah lebih banyak kepala menjamin keberhasilan suatu urusan?
Dari pemikiran seperti itu kemudian membanjirlah boyband dan girlband tidak jelas yang mengandalkan kemolekan tubuh dan suara yahud satu atau dua orang anggotanya (yang lain sih ikut joget-joget aja). Menjadi seorang penyanyi tidak perlu suara merdu nan semlohay. Cukup dengan mengumpulkan beberapa teman yang agak ganteng/cantik, bikin gerakan senam pagi yang kompak, terus datanglah ke produser dengan pakaian sama satu rombongan. Jadi deh artis di acara musik pagi-pagi.
Selanjutnya, telinga sebagian penikmat musik lah (setidaknya saya ada diantara mereka) yang akan dipenuhi dengan aksi mereka yang Naujubileh itu.
Sebenarnya masih banyak lagi kasus penyelewengan terhadap konsep mahadahsyat dari para leluhur kita itu. Hanya karena berbagai keterbatasan, saya persilahkan anda untuk menilai dan merenungkannya sendiri karena tentu anda juga punya pengalaman yang lain.
Dan dari berbagai fenomena tersebut? perlukah kita memikirkan kembali untuk menerapkan asas musayawarah dan mufakat di republik ini? Hanya orang bodoh dan sedikit agak sinting yang mau melmikirkannya.....



@oghetos
Suatu sore di Pogung Lor